Asal Usul
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapurosukolilo, kota Gresik, Jawa Timur.
Asal keturunan
Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan
Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia
bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari wilayah Arab Maghrib di Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, "Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang'gala".
Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan
pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya
di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal
dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.[4]
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW, melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim, yang berarti ia adalah keturunan orang Hadrami yang berhijrah.
Kisah
1. Satria Mega Pethak
Siang yang terik. Matahari memanggang bumi yang gersang di desa Tanggulangin.
Dari
ujung desa nampak serombongan orang berkuda bersorak-sorai meneriakkan
kata-kata kasar dan kotor. Mereka memacu kudanya dengan kecepatan
tinggi.
Penduduk desa, terutama wanita dan anak-anak yang berada
di luar rumah, langsung berteriak ketakutan dan masuk ke dalam rumah
masing-masing ketika melihat gerombolan orang berkuda itu memasuki
jalanan desa.
Gerombolan orang berkuda itu ada sekitar dua puluh
orang, terus memacu kudanya hingga ketengah-tengah perkampungan
penduduk.Dua orang berada di barisan terdepan mengangkat tangannya
tinggi-tinggi sebagai pertanda agar mereka yang dibelakangnya berhenti.
Agaknya
dua orang yang berada paling depan itu adalah pemimpinnya. Yang pertama
tubuhnya tinggi besar, berewokan, ada membawa tanda tentara kerajaandi
dadanya namun tanda itu dikenakan enaknya saja tanpa mengindahkan aturan
satuan pasukan. Yang seorang lagi bertubuh sedang bahkan agak kurus,
namun pakaiannyalebih bersih dan rapi. Hanya saja pakaian yang
dikenakannya adalah pakaian biasa pakaian para petani perdesaan.
Delapan
belas orang di belakang lebih parah lagi. Potongan mereka memang
seperti prajurit kerajaan, tapi cara berpakaian mereka sudah tidak
keruan.
“Hai penduduk Tanggulangin!” teriak si tinggi besar dan
berewokan dengan kerasnya.” Aku Julung Pujud ! Kuperintahkan kalian
menyerahkan harta benda yang kalian punyai di pelataran rumah
masing-masing. Jika tidak ! Seluruh desa ini akan kuratakan dengan
tanah, kubakar habis rumah kalian !”
Tak ada reaksi maupun jawaban. Rumah para penduduk tetap tertutup rapat. Tak seorangpun berani menampakkan diri.
Wajah
si penunggang kuda berpakaian petani nampak murung mendengar ucapan
orang yang menyebut dirinya Julung Pujud itu. Namun dia hanya dapat
menghela nafas panjang. “Sampai kapan ini akan berlangsung ……….?”
Gumannya lirih. Sebenarnya aku sudah muak melakukannya.”
“Hei, Tekuk Panjalin ! “Tegur Julung Pujud.” Kau barusan bicara apa ?”
“Tidak apa-apa, “Sahut Tekuk Panjalin.” Tak usah dihiraukan.
“Jangan
macam-macam,” tukas Julung Pujud.” Kita harus melakukannya. Terus
melakukannya hingga harta kita terkumpul banyak dan nantinya dapat kita
gunakan untuk bersenang-senang hingga tujuh turunan .”
Orang yang
disebut Tekuk Panjalin hanya berdiam diri. Beberapa saat kemudian,
karena tak ada jawaban dari penduduk setempat. Wajah Julung Pujud nampak
merah padam.
“Kurang ajar !” Bentaknya marah.” Di desa manapun
orang akan membungkuk-bungkuk dan menyembah kakiku jika mendengar namaku
disebut. Tapi kalian penduduk Tanggulangin tidak memandangku sebelah
mata. Baik ! Kalian memang perlu diberi pelajaran!”
Ia menoleh kepada anak buah yang berada di belakangnya.
“Nyalakan obor !” Perintahnya. “Bakar semua rumah desa ini !”
Beberapa
orang segera turun dari kuda untuk menyalakan obor yang sudah mereka
siapkan. Lalu naik lagi ke atas kuda beberapa rekannya yang lain tinggal
menyahutkan api pada obor itu. Dalam tempo singkat tiga belas orang itu
sudah memegang obor menyala di tangan kanan. Sementara tangan kirinya
tetap memegang kendali kuda.
Kini mereka mulai mendekati
rumah-rumah penduduk. Siap menyulutkan api ke dinding-dinding rumah yang
terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang.
Sepasang mata Julung
Pujud tiba-tiba menatap lurus ke arah sebuah bangunan aneh. Sebuah rumah
terbuat dari dinding kayu beratapkan genteng. Nampaknya baru saja
didirikan di sebelah barat pusat perkampungan. Sepasang matanya yang
tajam dapat melihat sekelompok orang sedang duduk bersila dengan mulut
komat kamit.
Julung Pujud segera mendekati bangunan baru itu.
Sepertinya Sanggar Pemujaan. Tapi makin dekat hatinya makin yakin jika
bangunan itu bukan tempat beribadahnya orang-orang beragama Hindu maupun
Budha.
Tepat pada saat itu orang yang duduk di bagian paling
depan mengorak sila, berdiri dan mengajak orang-orang yang berada di
belakangnya untuk keluar menemui Julung Pujud.
“Hoooo ! Jadi
kalian berkumpul dan bersembunyi di tempat ini. Apa yang kalian
rundingkan. Mau melawanku ?” tanya Julung Pujud dengan suara mengejek.
Seorang
pemuda berusia dua puluh lima tahun maju menghampiri Julung Pujud yang
masih duduk di atas kudanya. Wajahnya bersih bercahaya. Kepalanya
dibungkus dengan kain putih hingga sebagian rambutnya tak kelihatan
kecuali di dekat pelipis dan telinga.
“Ki Julung Pujud !” tegur
pemuda itu dengan suara mantap.” Sudah lama kudengar nama dan sepak
terjangmu ! Sungguh sangat kebetulan sekali sekarang dapat bertemu
denganmu. Mana anak buahmu ?”
Julung Pujud mendelik. Hampir saja
sepasang matanya meloncat keluar saking marahnya. Baru kali ini ada
seorang penduduk berani berkata seperti kepada dirinya.
Biasanya mereka tak berani menatap wajahnya, menunduk bahkan menyembah-nyembah.
“Edan
! Gila !” umpatnya keras-keras. “Lancang sekali mulutmu anak muda.
Sudah bosan hidup rupanya. Katakan kaukah yang mengumpulkan para
penduduk untuk bersembunyi di tempat ini ?”
Pemuda itu malah
menatap lekat kearah Julung Pujud. Lalu ganti ke arah lelaki di
sampingnya yaitu Tekuk Penjalin yang lebih suka berdiam diri dan
nampaknya lebih tenang.
Tak ada rasa takut maupun gentar. Julung Pujud benar-benar merasa dilecehkan.
Ki
Julung Pujud ! Sebagian orang memang takut kepadamu. Terutama wanita
yang lemah dan anak-anak. Tetapi tadi kami berkumpul di surau bukannya
bersembunyi. Melainkan sedang mengerjakan shalat dhuhur !” jawab pemuda
tampan itu.
Julung Pujud menoleh ke arah Tekuk Penjalin yang
tetap berdiam diri namun sepasang matanya menatap tajam-tajam ke arah si
pemuda.
“Hem, akhirnya kita ketemu macan juga rupanya, “Guman Tekuk Penjalin lirih.
“Macan
?” tukas Julung Pujud. “Masih perlu dibuktikan lagi, apakah dia seekor
macan atau sekedar kucing buduk dan anjing kurap yang biasanya Cuma
mengonggong !”
“Buktikanlah ! sahut Tekuk Penjalin tanpa basa basi.
“Baik,
panggil anak buah kita supaya dapat menyaksikan bagaimana caranya aku
menggebuk anjing muda-muda ini supaya lari terkaing-kaing !” kata Julung
Pujud sembari melompat dari atas kuda dan langsung hinggap di hadapan
si pemuda tampan.
Tekuk Penjalin memutar kudanya dan segera
memacu ke arah anak buahnya yang sudah bersiap-siap hendak membakar
rumah-rumah penduduk.
Cepat berkumpul. Buang obor kalian ! Kita
bakal menyaksikan pertandingan menarik!” teriak Tekuk Penkalin begitu
melihat anak buahnya.
Maka delapan belas orang berkuda itu segera
mengikuti langkah kaki kuda Tekuk Penjalin untuk menuju ke tempat
Julung Pujud sedang berhadapan dengan si pemuda tampan.
“Anak
muda !” hardik Julung Pujud.” Sebelum nyawamu lepas dari badan. Katakan
siapa namamu supaya orang-orangku mengetahui bahwa pernah ada seorang
anak muda berani coba-coba melawanku, dan akhirnya bernasib sial !”
“Namaku
Ghafur ! Tetapi lidah orang-orang jawa memanggilku Gapur. Kuperingatkan
kepadamu, tinggalkan dunia kejahatan, jadilah orang baik-baik sebelum
terlambat !”
“Hoo! Jadi namamu Kapur ?” ejek Julung Pujud” Pantas
wajah dan kulitmu putih seperti mayat. Dan memang kau akan segera jadi
mayat !”
Tepat pada saat itu Tekuk Penjalin datang bersama tiga belas orang anak buahnya.
“Hem,”
ujar Tekuk Penjalin. “Jadi kaupun ikut-ikutan jadi anjing, Pujud ?
Apakah kaupun hanya akan mengajak anak muda itu untuk saling mengonggong
?”
Julung Pujud melirik ke arah Tekuk Penjalin dengan hati mendongkol.
“Penjalin ! Aku hanya sekedar mengisi waktu untuk menunggu kedatanganmu !” ujarnya pedas.
“Nah, mulai meraung lagi. Kenapa tidak lekas kau bikin modar anak muda itu ?” tukas Tekuk Penjalin.
Sementara itu pemuda bernama Gafur segera melipat lengan bajunya yang panjang.
Agaknya pertarungan antaranya dengan Julung Pujud tak bias dihindarkan lagi.
‘sebenarnya
aku paling benci menggunakan kekerasan. Tapi kepala kalian memang
kepala batu yang patut dipukul dengan tangan besi !” ujar Gafur.
“Hiaaaaat
!” Tanpa basa basi lagi karena malu terus diejek Tekuk Penjalin, lelaki
berewokan itu menerjang maju ke arah Gafur. Sepasang tangannya
membentuk cakar rajawali di arahkan ke wajah Gafur yang putih bersih.
Semua
orang, terutama para pendududk desa yang berdiri di belakang Gafur
berteriak kaget. Sebab Gafur sepertinya tak bereaksi, hanya diam saja,
Seolah membiarkan Julung Pujud menampar dan mencakar wajahnya begitu
saja.
“Plak ! Dess !” ternyata tidak. Begitu jarak serangan
tinggal sekilan (kurang lebih 10 cm) Gafur menangkis tangan yang hendak
mencengkeram wajahnya bahkan langsung balik mengirim serangan dengan
menendang dada Julung Pujud.
Julung Pujud mengaduh kesakitan
dengan tubuh terdorong ke belakang beberapa langkah. Dadanya terasa
bagai di hantam palu godam puluhan kilo. Benar-benar kecele.
Sudah
diperhitungkan, melihat keberanian si pemuda tentulah Gafur itu
mempunyai sedikit kepandaian. Tapi sungguh tak disangkanya jika
kepandaian ilmu silat si pemuda demikian tingginya sehingga sekali
gebrak dia dibikin mundur sempoyongan dengan dada ampek.
Tadinya
ia berharap akan meringkus pemuda itu dengan sekali serangan saja. Itu
sebabnya dia langsung mengerahkan jurus Rajawali Sakti tingkat ke
delapan belas. Dia ingin mencengkeram dan langsung memutar leher Gafur,
sekali pelintir putuslah nyawa pemuda itu.
Tapi siapa sangka
keadaan jadi terbalik. Justru dia yang terkena tendangan telak. Kini
dengan wajah merah padam Julung Pujud langsung mencabut golok di
pinggangnya. Dan dengan teriakan mengguntur dia merangsak lagi ke depan.
Menebaskan goloknya ke arah perut Gafur. Namun dengan mudahnya pemuda
itu berkelit ke sana kemari.
Semua serangan Julung Pujud hanya
mengenai tempat kosong. Keringat dingin segera membasahi wajahnya. Ia
merasa malu dan penasaran. Tekuk Penjalin juga merasa terkejut.
Dia
adalah seorang pendekar kawakan. Belum pernah dia melihat kecepatan
gerak seorang pesilat seperti Gafur. Ia terus memperhatikan cara-cara
Gafur mengelak dan balas menyerang.
Akhirnya dia dapat menyimpulkan ciri khas dari ilmu silat yang dimiliki pemuda itu.
“Lembu Sekilan ………. ?” teriaknya agak ragu.
Julung
Pujud yang mendengar teriakan Tekuk Penjalin terkejut sekali. Lembu
Sekilan adalah ilmu tingkat tinggi. Tak sembarang orang mampu
mempelajari ilmu itu. Tapi Gafur yang berusia semuda itu sudah
menguasainya dengan baik. Sehingga setiap serangan yang dilancarkan
tidak akan pernah menyentuhnya. Selalu berjarak kurang dari sekilan dari
sasaran. Tiga puluh jurus telah berlalu. Selama ini Gafur lebih banyak
mengalah. Ia lebih sering mengelak atau menangkis, hanya sesekali balas
menyerang dengan tenaga biasa.
Sementara Julung Pujud sangat
bernafsu merobohkan atau membunuh pemuda itu dengan seluruh kemampuan
yang ada. Ia telah mengerahkan semua ilmunya. Baik ilmu yang
dipelajarinya dari satuan pasukan elite Majapahit maupun ilmu kotor
dengan jurus-jurus keji yang penuh gerak tipuan. Semua itu ternyata tak
mampu dipergunakan untuk menyentuh tubuh Gafur.
“Dasar tak tahu diri !” tiba-tiba Tekuk Penjalin angkat bicara. “Kalau mau sebenarnya sudah mampu mencabut nyawamu sejak tadi !”
Julung
Pujud makin panas mendengar ejekan rekannya itu. Tekuk Penjalin memang
selalu jadi saingannya dalam segala hal. Ilmu mereka berimbang tapi
Tekuk Penjalin nampak lebih tenang dan penuh perhitungan. Tak gampang
terbawa arus nafsu amarah yang merusak segala pertimbangan akal sehat.
Kini Julung Pujud menyerang Gafur dengan membabi buta. Hingga suatu
ketika Gafur merasa sudah saatnya memberikan pelajaran kepada pemimpin
gerombolan perampok itu.
“Trang ! Desss ! Desss !”
Saat
itu Julung Pujud membacokan goloknya ke arah kepala Gafur. Gafur
menangkis dengan tangan kirinya. Semua orang terkejut. Mengira tangan
Gafur yang bakal putus dibabat golok itu. Ternyata justru golok itulah
yang patah menjadi dua. Dan sebelum hilang rasa terkejutnya, Julung
Pujud tahu-tahu merasa perutnya kena tendangan teramat keras dari
sepasang kaki Gafur yang dilancarkan secara beruntun. Tubuh Julung Pujud
terjungkal ke belakang dengan terjembab ke tanah dengan keras sekali.
Mulutnya mengeluarkan darah segar. Nafasnya terengah-engah. Tiga belas
anak buahnya hanya memandanginya dengan bengong, tak tahu apa yang harus
dilakukannya.
Goblok !” umpatnya dengan nafas tersenggal. “Mengapa kalian diam saja. Cepat serbu bangsat itu ! Bunuh dia !”
Delapan
belas prajurit itu langsung turun dari kudanya masing-masing. Dengan
menghunus golok di tangan mereka menyerbu ke arah Gafur.
Namun
puluhan penduduk yang tadinya hanya berdiri di belakang Gafur segera
mengambil senjata seadanya. Dan mereka segera menyerbu ke arah kawanan
perampok yang hendak mengeroyok Gafur.
Ternyata ada beberapa
pemuda desa yang telah mempunyai kepandaian ilmu silat. Dan cukup
membuat kawanan rampok itu repot meladeni serangannya. Belum lagi
puluhan penduduk yang menyerang dengan nekad dengan senjata parang,
golok, tombak, cangkul, tongkat penumbuk padi, lemparan batu dan
sebagainya.
Selama menjarah desa puluhan kali belum pernah
kawanan rampok itu mendapat perlawanan sesengit ini. Biasanya para
penduduk desa sudah mengkeret begitu mendengar gertakan mereka. Tak ada
yang berani melawan.
Apa yang dikatakan Tekuk Penjalin bahwa
mereka sedang bertemu dengan macan rupanya benar-benar menjadi
kenyataan. Seluruh penduduk desa Tanggulangin agaknya telah berubah
menjadi sekawanan harimau terluka. Siap menerkam siapa saja yang
coba-coba mengusik ketenangannya. Julung Pujud melangkah tertatih-tatih
ketepian. Menjauhi pertempuran. Mendekati kudanya yang ditambatkan pada
sebatang pohon sawo. Sementara delapan belas anak buahnya bertarung
sengit dengan puluhan penduduk desa. Tekuk Penjalin langsung meloncat ke
depan Gafur.
“Senang sekali bertemu denganmu anak muda.” Katanya dengan wajah berseri-seri.
“Sudah lama sekali aku tak bertemu lawan tangguh yang dapat mengimbangi ilmuku.”
Habis berkata demikian dia langsung melancarkan serangan dari jarak jauh.
Serangkum
hawa panas meluncur ke dada Gafur. Pemuda itu, sudah merasakan kesiuran
angin sebelum tenaga dalam yang dilancarkan Tekuk Penjalin mengenai
tubuhnya. Cepat ia membaca beberapa ayat Al-Qurán. Kedua telapak
tangannya dibentangkan lebar-lebar untuk menangkis.
“Wesssss .......... ! Hiaaaaat ! Tap !”
Cerdik
sekali Tekuk Penjalin. Ia sudah menduga serangannya bakal membalik.
Maka dia meloncat tinggi-tinggi ke arah pohon mangga. Dan hinggap
disalah satu dahannya. Gafur memandangnya sejenak. Kemudian menoleh ke
arah penduduk desa yang sedang bertempur melawan kawanan perampok. Ia
mengerutkan dahi. Buas dan brutal sangat cara para perampok itu
bertempur. Beberapa penduduk berhasil dilukainya, bahkan ada lima orang
penduduk yang sudah roboh di atas tanah dengan luka parah terbabat
golok.
“Aku tak bisa membiarkan ini terjadi.” Gumannya lirih.
Lalu meloncat ke arah Tekuk Penjalin yang masih tertengger diatas dahan
pohon mangga.
Tampa diduga tiba-tiba Tekuk Penjalin menyambitkan
sebuah daun ke arahnya. Gafur berjumpalitan di udara beberapa kali untuk
menghindari daun mangga yang meluncur bagai sebatang anak panah.
“Tasss ! Jreppp !”
Gafur
berhasil menghindari sembitan daun mangga yang telah diisi dengan
tenaga sakti. Daun itu mengenai batang pohon pisang di sebelahnya,
tembus dan meluncur lagi ke arah batang pohon kelapa. Amblas dan
menancap do batang pohon kelapa itu.
Gafur bergidik ngeri. Bagaimanakah jika daun itu mengenai tubuhnya ?
Nalurinya
berkata lawannya kali ini bukan sembarang orang. Melainkan lawan
tangguh yang mempunyai ilmu sangat tinggi. Ia sudah berhasil hinggap di
salah satu dahan pohon mangga, tepat diseberang Tekuk penjalin.
“Ki
Tekuk Penjalin, andika seorang pendekar perkasa, “Tegur Gafur dengan
sopan sekali. “Mengapa harus berloncatan ke dahan pohon seperti tupai ?
Mari kita tuntaskan pertarungan ini di atas tanah.”
“Kau takut bertempur di atas pohon ? Ejek Tekuk Penjalin.
“Andika
salah sangka. Saya hanya tidak mau merusak pohon ini tanpa suatu alasan
yang benar. Kasihan penduduk desa yang telah menanamnya dengan susah
payah selama puluhan tahun” ujar Gafur dengan suara datar.
Tekuk
Penjalin melangak. Hanya sebatang pohon mangga. Pemuda itu demikian
menghargainya. Ia merasa malu karena selama bertahun - tahun membunuh
dan memperlakukan manusia bagaikan barang yang tidak berharga.
“Baiklah, kuturuti apa maumu !” kata Tekuk Penjalin sembari melayang turun. Dengan ringan tubuhnya hinggap di atas tanah.
Gafur melakukan hal serupa. Bahkan gerakannya membuat Tekuk Penjalin tercekat.
Cepat bagai kilat namun indah bagaikan sehelai daun kuning jatuh ke tanah.
“Nah, majulah anak muda !” tantang Tekuk Penjalin.
Gafur
memang bermaksud segera menyudahi pertempuran itu. Ia merasa kasihan
pada para penduduk desa yang terus menerus berjatuhan karena kalah
pengalaman dibanding kawanan perampok yang asalnya memang dari pasukan
tempur kerajaan Majapahit.
Tampa basa basi lagi Gafur mengerahkan
ilmunya. Ilmu silat yang berasal dari Perguruan Al-Karomah. Tekuk
Penjalin langsung roboh terjungkal ke tanah. Nafasnya terengah-engah.
Mulutnya mengeluarkan darah segar. Beberapa bagian tubuhnya nampak
matang biru.
Melihat kenyataan itu. Julung Pujud yang sudah naik
ke atas punggung kuda menjadi kecut hatinya. Ia menggiring kudanya
secara diam-diam untuk menjauhi arena pertarungan. Rupanya Julung Pujud
bersiap-siap hendak melarikan diri jika ternyata pihaknya menderita
kekalahan.
“Ilmu setan ……….!” Desis Tekuk Penjalin dengan pandang mata penasaran.
“Andika
keliru !” sahut Gafur sembari melangkah mendekati Tekuk Penjalin yang
terkapar tanpa dapat bangun lagi.” Kami bahkan sangat membenci ilmu
setan. Ilmu yang barusan kupergunakan tadi adalah ilmu Pencak Silat
Karomah.”
“Kau berasal dari perguruan mana ?”
Garawesi !” Sahut Gafur menoleh ke arah penduduk yang masih terus bertempur dengan kawanan perampok.
Kemudian berpaling dan mendekati ke arah Tekuk Penjalin.
“Cepat perintahkan anak buahmu untuk menyerah !” Bentak Gafur dengan pandang mata mencorong.
Tekuk
Penjalin hanya diam saja. Gafur jadi gelisah. Ia melangkah makin dekat.
Sepasang kakinya berdiri di sisi tubuh Tekuk Penjalin yang terkapar.
“Jika kau tak mau perintahkan anak buahmu menyerah, maka sekali
kuinjakkan kakiku ke dadamu, pasti kau akan mati !” ancamnya tanpa
main-main.
Tekuk Penjalin masih tak mau buka suara. Sepasang
matanya memandang Gafur dengan penuh penasaran. Rasanya dia masih belum
percaya jika telah dirobohkan pemuda itu hanya dalam tiga kali gebrakan.
Benar-benar mustahil. Tapi kenyataan telah membuka pandangan hidup
bahwa seolah-olah di dunia ini tidak ada orang sakti selain dirinya.
“Cepat
! perintahkan anak buahmu untuk menyerah ! “ Ancam Gafur dengan hati
galau. Kini ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Siap dihantamkan ke
dada Tekuk Penjalin.
Tekuk Penjalin sendiri masih bungkam.
Hatinya bergolak, “Bertahun-tahun aku mengembara. Ingin bertemu dengan
tokoh silat tingkat tinggi, kini tokoh itu ternyata hanya seorang anak
muda. Aku kecewa, daripada hidup menanggung malu, lebih baik aku mati
ditangannya.”
Tanpa diduga oleh Gafur, tiba-tiba Tekuk Penjalin
menggerakkan mulutnya. Bukan untuk memberi perintah agar anak buahnya
menyerah. Melainkan justru meludahi wajah Gafur yang hendak menginjak
dadanya.
“Juhhhhh .......... !”
Gafur tak sempat mengelak.
Ludah itu menempel di wajahnya. Seketika wajahnya yang putih bersih
berubah jadi merah padam pertanda marah.
Sepasang tangannya
terkepal erat. Kaki kanannya bergetar hebat menahan amarah. Sekali injak
tentu ambrol dada Tekuk Penjalin. Melihat wajah Gafur yang merah
membara itu tergetarlah hati Tekuk Penjalin, bagaimanapun sebenarnya dia
tidak rela mati begitu saja. Kini lenyaplah kepongahan hatinya. Berubah
jadi kecut dan ciut. Wajahnya seketika berubah jadi pucat pasi.
“Kali
ini tamatlah riwayatku .......” Desis Tekuk Penjalin melihat kaki kanan
Gafur diangkat tinggi-tinggi. Siap menggempur dadanya.
Tiba-tiba
terjadilah keanehan. Gafur mengrungkan niatnya menghantam dada Tekuk
Penjalin dengan kakinya. Dia menarik kaki kanannya dan berdiri dengan
sikap biasa. Terdengar ia menyebut , “Astaghfirullah ..”
Wajahnya
yang tadi merah pedam karena dialiri darah amarah yang menggelegak
mendadak berubah lagi jadi putih bersih. Perlahan dia membersihkan ludah
Tekuk Penjalin yang menempel di wajahnya.
“Mengapa ? mengapa aku tak jadi kau bunuh ?” tanya Tekuk Penjalin keheranan.
“Karena tadi kau telah membuatku marah !” jawab Gafur datar.
“Aku tidak boleh menghukum orang dalam keadaan marah. Itu termasuk dosa !”
“Kenapa berdosa ?” ujar Tekuk Penjalin masih penasaran.” Bukankah aku ini perampok jahat yang pantas di bunuh ?”
“tadi
.......... “kata Gafur.” Sebelum kau meludahiku dan sebelum aku marah.
Aku boleh membunuhmu karena niatku membunuhmu adalah untuk jihad fi
sabilillah, memerangi kejahatan. Tetapi setelah kau meludahi, maka
hatiku jadi marah. Yang marah adalah aku pribadi. Karena diri pribadiku
tersinggung. Sedangkan aku tak boleh mencampur adukkan antara
kepentingan pribadi dengan niat berjuang di jalan Allah. Saat aku marah
hatiku sudah menyeleweng dari jalan Allah, jadi aku akan menanggung dosa
besar jika membunuhmu atas dasar kebencian pribadi. Bukan atas dasar
perang di jalan Allah, yang sesuai dengan ajaran agamaku !”
Tekuk Penjalin tertegun. Hatinya bergolak.
“Betapa luhur ajaran agamamu, apakah nama agama yang kau anut itu ?” tanya Tekuk Penjalin.
“Islam !” jawab Gafur. “Islam artinya selamat. Siapa yang memeluk agama Islam akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat.”
“Aku
………. adalah bekas perwira Majapahit yang membelot dan menjadi pemimpin
rampok. Kejahatanku bertumpuk-tumpuk, apakah Tuhanmu masih mau
mengampuniku ?” tanya Tekuk Penjalin.
“Kenapa tidak ?” Sahut
Gafur. “Misalkan dosamu setinggi gunung sepenuh langit dan bumi. Namun
kalau kau masuk agama Islam, dan bertobat secara sungguh-sungguh.
Artinya kita tidak akan mengulangi perbuatanmu yang jahat, menggantinya
dengan perbuatan baik, maka Tuhan akan mengampunimu. Dosa-dosa di masa
lalu akan dihapus semua.”
“Benarkah begitu ?” sahut Tekuk Penjalin ragu.
“Aku bicara apa adanya. Dusta adalah suatu dosa !” sahut Gafur.
Tiba-tiba
Tekuk Penjalin berusaha bangkit untuk berdiri. Karena tubuhnya masih
lemah maka ia segera roboh lagi. Gafur cepat menyambarnya. Sementara
itu, pertempuran antara penduduk desa dengan kawanan perampok masih
berlangsung seru. Tiba-tiba terdengar bentakan yang membahana.
“Berhenti ! Hentikan pertempuran !”
Semua
orang terkejut dan segera menghentikan pertempuran. Ternyata bentak itu
berasal dari Tekuk Penjalin. Dia berdiri tegak di samping Gafur. Gafur
telah menolong Tekuk Penjalin sehingga tubuhnya kembali segar bugar
seperti semula.
“Dengarkan ! Mulai sekarang kutinggalkan dunia
kejahatan. Aku tak mau lagi hidup bergemilang dosa. Hari ini juga aku
masuk agama Islam dam menjadi pengikut saudara Gafur Satria Mega Pethak
!”
Semua orang terkejut mendengar perkataan itu. Baik dari
kalangan penduduk desa maupun para perampok itu sendiri. Sementara bagi
Pulung Pujud ucapan Tekuk Penjalin itu bagaikan petir menyambar di
telinganya. Jika Tekuk Penjalin yang tadinya andalan gerombolannya sudah
menyeberang ke pihak lain, maka tamatlah riwayatnya. Tekuk Penjalin
menatap wajah seluruh anak buahnya.
“Kalian boleh pilih, tetap
menjadi gerombolan perampok dengan risiko diburu petugas pemerintah
Majapahit dan dimusuhi seluruh rakyat atau hidup baik-baik, bertobat dan
membaur dengan masyarakat !”
Delapan belas perampok itu sekarang
tinggal lima belas. Tiga rekannya telah mati di tangan penduduk desa.
Delapan orang langsung membuang senjatanya ditanah begitu mendengar
seruan Tekuk Penjalin.
Tujuh lainnya berlari ke arah kudanya
masing-masing dan bergerak menuju Julung Pujud. “Ki Tekuk Penjalin !
Tidak sudi kami mengikuti jejakmu. Biarkan kami menempuh jalan kami
sendiri !”
“Terserah kalian !” sahut Tekuk Penjalin. “Tapi jangan
coba-coba mengganggu desa ini lagi. Bila itu kalian lakukan maka aku
sendiri yang bakal membasmi kalian !”
“Ha ha ha ha .......... !”
Julung Pujud tertawa keras. “Mari anak buahku yang jantan !” kita
tinggalkan Tekuk Penjalin yang telah menjadi banci !”
Julung
Pujud mendahului memacu kudanya keluar desa. Diikuti tujuh orang anak
buahnya yang tidak mau menerima fitrah kebenaran abadi. Beberapa
penduduk desa yang masih merasa geram dan dendam segera menendang dan
memukuli delapan perampok yang telah menyerah, duduk bersimpuh di atas
tanah tanpa mengadakan perlawanan sama sekali.
Gafur segera membentak ke arah penduduk desa, “Hentikan ! tidak pantas menyerang orang yang sudah menyerahkan diri !”
“Mereka sudah membujuk teman-teman kami !” protes penduduk.
“Serahkan
mereka padaku. Aku akan mengurusnya !” jawab Gafur dengan suara
berwibawa. Kemudian ia memberi isyarat kepada seluruh penduduk untuk
berkumpul. Ki Tekuk Penjalin dan anak buahnya duduk bersimpul di
belakang Gafur, menghadap ke arah penduduk desa yang segera berkumpul di
hadapan Gafur.
“Sudah kalian saksikan sendiri, “Gafur membuka
suara.” Muslim yang kuat lebih disukai Allah. Dengan adanya kekuatan
kita dapat mempertahankan diri dari pemaksaan kehendak orang lain,
itulah sebabnya para pemuda di desa ini kuajari ilmu pencak silat di
samping belajar ilmu agama !”
Demikianlah, secara panjang lebar
Gafur memberikan bimbingan kepada penduduk setempat untuk mengenal dan
memperdalam agama Islam. Bukan hanya sekedar ceramah saja. Melainkan
dibuktikan dengan perbuatan nyata. Gafur adalah murid si Kakek Bantal
yang ditugaskan membina desa-desa tertinggal, dan masyarakat yang belum
mengenal Islam. Dia membantu para penduduk untuk meningkatkan taraf
kehidupannya dengan cara membimbing mereka bertanam padi dengan cara
yang lebih baik. Dengan ilmu pengobatan yang dipelajari dari gurunya ia
juga telah banyak menolong para penduduk yang menderita sakit.
Penduduk
setempat akhirnya menaruh simpati. Di saat itulah Gafur baru menawarkan
dan mengenalkan keindahan dan keluhuran agama Islam kepada mereka.
Tekuk Penjalin dan anak buahnya dibina di desa itu. Akhirnya mereka
menjadi orang baik-baik dan menjadi pelindung desa dari rongrongan para
perampok.
Itulah cara dakwah yang ditempuh oleh Gafur yang oleh
Tekuk Penjalin disebut sebagai Satria Mega Pethak atau Satria Awan
putih. Seputih hati dan sebersih jiwa pemuda dalam menempuh perjalanan
hidupnya.
Gafur sangat toleran terhadap kepentingan pribadi, patuh terhadap ajaran agama.
Teguh
menjauhi kemungkaran dan tiada henti-hentinya menegakkan kebenaran yang
dinodai sekelompok orang tak bertanggung jawab. Gafur hanyalah salah
satu di antara sekian banyak murid Kakek Bantal yang tinggal di Garawesi
atau Gresik. Lalu siapakah si Kakek Bantal itu. “Ya, siapakah
sebenarnya Guru saudara Gafur yang disebut Kakek Bantal itu ?” tanya
Tekuk Penjalin pada suatu hari.
Gafur tersenyum lalu menjawab,
“Kakek Bantal adalah seorang ulama besar dari Negeri Seberang. Beliau
tinggal di Jawa, tepatnya di Gresik. Bantal artinya Bumi. Disebut
demikian karena beliau mampu membaur dengan penduduk setempat sehingga
boleh dikatakan sudah membumi dengan lingkungan dan masyarakat sekitar.
Ada pula yang mengatakan Bantal adalah bantal untuk alas tidur, sebab
beliau sangat berilmu tinggi. Petuah dan nasehatnya melegakan semua
orang yang mendengarkannya sehingga hati dan jiwa menjadi tenang,
setenang saat mereka tidur nyenyak diatas bantal empuk.”
2. Menanti Tetes Air
Sejak
kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan
Majapahit mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang
dahulu pernah dipersatukan Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik
secara terang-terangan maupun dengan sembunyisembunyi. Namun demikian
Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa.
Wibawanya
masih terasa kuat di dunia luar, walaupun sesungguhnya dari dalam
kerajaan itu sudah sangat keropos. Perang saudara antara kerabat istana
tiada henti-hentinya. Rakyat menjadi korban. Kesengsaraan dan bahaya
kelaparan melanda di mana-mana. Kesetiaan para pembesar dan bupati mulai
menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja.
Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan, perampokan dan
pencurian. Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang melepaskan
diri dan beralih profesi sebagai gerombolan perampok yang menjarah harta
benda kaum bangsawan dan rakyat jelata.
Karena tak ada jaminan
stabilitas keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam mengolah
lahan pertanian mereka. Akibatnya bahaya kelaparan melanda di mana-mana.
Ditambah adanya musim kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi
jadi semakin menggenaskan.
Di saat demikian sesekali si Kakek
Bantal dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan langsung ke beberapa
daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat. Pada
suatu hari Kakek Bantal dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa
yang teramat gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah
yang terinjak sangat kering, tak ada rerumputan sama sekali.
Mereka
terus berjalan hingga tiba di suatu tanah lapang yang cukup luas. Di
tengah-tengah tanah lapang itu nampak puluhan penduduk sedang
berkerumun. Mengelilingi dua orang pemuda bertubuh kurus sedang berlaga.
Dua orang pemuda itu hanya mengenakan celana, tubuh bagian atasnya
terbuka. Mereka saling memukulkan sebatang rotan ke punggung
masing-masing. Setiap pukulan nampaknya disertai tenaga yang sangat kuat
sehingga punggung yang terkena menjadi matang biru bahkan ada beberapa
dari melintang yang penuh darah.
Terus menerus kedua pemuda itu
saling menghantamkan rotan ditangannya. Hingga kedua punggung anak muda
itu penuh luka yang melepuh. Beberapa lelaki yang mengelilinginya
menabuh gending untuk memberi semangat. Hingga pada akhirnya kedua
pemuda itu roboh ke tanah dalam keadaan pingsan.
Irama gending segera berhenti.
Seorang
pendeta berpakaian kuning, yang agaknya menjadi ketua adat segera
memberi perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar arena. Kemudian
pendeta itu menuding ke arah seorang gadis yang sedang dicekal kedua
lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh kekar. “Bawa kemari anak
perawan itu !” Teriak sang pendeta.
Kedua lelaki bertubuh kekar
menyeret si gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di
tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.
“Jangan !
Jangan bunuh aku !” teriak gadis itu ketakutan. Dia berusaha berontak,
namun tenaganya kalah kuat dibanding ke dua lelaki bertubuh kekar yang
mencekal dan menyeretnya dengan paksa.
Si gadis yang sudah diberi
pakaian putih segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki
memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentangkan. Gadis itu
meronta-ronta ketakutan. Kakek Bantal makin tertarik, ia kelima muridnya
makin mendekati kerumunan orang itu. Kini sang pendeta mengangkat
tongkatnya tinggi-tinggi sembari mendongkak ke atas langit.
“Wahai
Dewa Hujan ! Terimalah perembahan kami ! Hentikan kemarau panjang ini.
Curahkan limpahan airmu ke bumi yang gersang ini !” Demikian teriaknya
berkali-kali. Si pendeta tua segera mendekati si gadis dengan senyum
menyeringai. Ia melemparkan tongkatnya lalu mencabut belati dari balik
pinggangnya.
Hai perawan suci, serahkan dirimu dengan rela kepada
Dewa Hujan. Sederas darah yang keluar dari jantungmu sederas itu pula
hujan yang akan diturunkan oleh sang Dewa. Pengorbanan mu tidak akan
dilupakan oleh seluruh penduduk desa ini !”
“Jaj ...... jangan ...... ! Aku tidak mau ...... !” rintih si gadis cantik dengan tubuh gemetar ketakutan.
“Diam !” bentak lelaki berwajah seram yang memegangi tangan si gadis. Wajah si gadis langsung mengkeret, pucat pasi.
“Ayo
kita mulai !” kata sang pendeta. Keempat lelaki yang memegangi sepasang
tangan dan kaki si gadis makin mempererat cekalannya. San pendeta
mendekati altar persembahan.
Ia mengangkat belati itu di atas
dada si gadis. Tepat di atas jantungnya. Agaknya ia hendak menikam
jantung si gadis cantik dengan belati itu.
“Berhenti !” tiba-tiba terdengar seruan lembut namun jelas terdengar oleh semua orang.
Kakek
Bantal dan kelima orang muridnya menerobos kerumunan orang. Langsung
menghampiri si pendeta yang memegang belati, siap dihujamkan ke jantung
si gadis. “Untuk apa gadis ini dikorbankan ?” tanya Kakek Bantal.
Kami mengharap turunnya hujan !” sahut sang Pendeta dengan nada ketus. Dia sangat tidak suka atas kedatangan Kakek Bantal itu.
“Hujan ?” tanya Kakek Bantal. “Mengharap hujan dengan mengorbankan seorang gadis gadis cantik ?”
“Ya, hanya dengan mengorbankan gadis itu kepada Dewa Hujan maka kami akan mendapat air.” Sahut sang pendeta.
“Sudah
berapa kali acara seperti ini dilakukan ?” tanya Kakek Bantal lagi.
Sang pendeta tidak segera menjawab. Dia tidak suka urusannya dicampuri
orang lain. Maka ia segera memberi isyarat agar kedua orang kaki
tangannya yang bertubuh kekar untuk mengusir Kakek Bantal.
Dua
orang bertubuh kekar segera menghunus goloknya masing-masing lalu
menghampiri Kakek Bantal. Tanpa basa-basi mereka langsung mengayunkan
goloknya untuk membelah kepala Kakek Bantal.
Namun sungguh aneh.
Saat keduanya mengangkat golok, tiba-tiba gerakannya terhenti. Mereka
berdiri kaku dengan golok di tangan sedang terangkat tinggi-tinggi. Sang
pendeta terbelalak menyaksikan hal itu.
Namun ia tak mau
rencananya berantakan. Segera ditikamnya belati yang dipegangnya ke
jantung si gadis cantik. Namun ia berteriak kaget. Tangannya tak dapat
digerakkan untuk meluncurkan belati itu ke dada si gadis.
“Kau
...... ? Kau ...... ?” teriak sang pendeta sembari menuding ke arah
Kakek Bantal.” Mau apa kau mengganggu jalannya upacara ini ?”
Kakek Bantal dan kelima muridnya maju ke tengah arena.
“Maaf kisanak, sudah berapa kali kau korbankan gadis-gadis suci itu kepada Dewa Hujan ?” tanya Kakek Bantal.
“Sudah dua kali !” jawab pendeta dengan sengit.
“Hem, dua kali, “ulang Kakek Bantal.” Jadi sudah dua jiwa melayang sia-sia !”
“Pengorbanan mereka tidak sia-sia, “Tukas pendeta tua.
“Apakah dengan mengorbankan kedua gadis tadi hujan sudah turun ke desa ini ?” tanya Kakek Bantal.
Pendeta tua tidak segera menjawab, tetapi orang yang berkerumun tanpa dapat dicegah lagi menjawab dengan serentak, “Belum …… “.
Wajah
sang pendeta nampak jadi beringas mendengar jawaban orang-orang desa
itu. Dengan lantang ia berkata, “Hujan belum turun karena pengorbanan
baru dilakukandua kali. Dewa Hujan akan menerima pengorbanan yang
dipersembahkan tiga kali. Barulah sesudah itu hujan akan diturunkan !”
Bagaimana jika pengorbanan dilakukan ketiga kalinya tetapi hujan belum turun juga? Tanya Kakek Bantal.
Merah
padam wajah sang pendeta. Dia memberi isyarat kepada dua lelaki kekar
dibelakangnya untuk meringkus Kakek Bantal yang dianggapnya sebagai
pengacau. Dua lelaki itu, yang agaknya adalah pengikut setia sang
pendeta segera bergerak maju. Mereka bermaksud menghajar Kakek Bantal
hingga babak belur. Tapi sungguh aneh, sepasang kaki mereka tiba-tiba
terasa kejang tanpa ada sebabnya. Keduanya melolong kesakitan sembari
memegangi pahanya.
“Kau bermaksud menentang kami hai orang asing !” bentak pendeta tua.” Kau sengaja mengganggu upacara kami !”
“Aku tidak bermaksud mengganggu. ujar Kakek Bantal. “Aku dan kelima muridku bermaksud menolong orang-orang desa ini.”
“Puih !” pendeta tua meludah sambil bertolak pinggang.” Apa yang dapat kau berikan kepada warga desa ini ?”
“Apa yang kalian inginkan dari kami ?” Kakek Bantal balik bertanya.
“Hujan ! Kami minta hujan !” jawab para penduduk desa serentak.
“Cuma hujan ?” ujar Kakek Bantal.
Huh
!” Dengus pendeta tua.” Lagak bicaramu seolah dunia ini berada dalam
genggamanmu ! Coba turunkan kalau kau bisa. Tapi ingat, jika kau gagal
melakukannya maka kami tak segan-segan akan membunuhmu, karena kau
berani mengganggu upacara kami !”
“Jika Allah mengijinkan maka hujan pun akan segera turun !” kata Kakek Bantal dengan tenang.
“Allah ? Siapa Allah ?” tanya pendeta tua.” Mengapa minta ijin segala kepadanya ?”
“Allah
adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya.
Termasuk yang menciptakan kita semua,” Ujar Kakek Bantal.
“Sudah ! Jangan bicara ! Jika kau memang bisa menurunkan hujan cepat lakukan saja!” bentak pendeta tua.
“Boleh
saja, tapi dengan syarat, jika kami bisa menurunkan hujan aras ijin
Allah, maka kalian harus membebaskan gadis itu !” kata Kakek Bantal.
“Untuk
apa ?” tukas pendeta tua.” Kedua orang tua gadis itu sudah mati. Dia
tak punya sanak kadang, sudah pantas jika dia terpilih sebagai
persembahan untuk Dewa Hujan !”
Kakek Bantal menghadap ke arah
kerumunan orang-orang desa, kemudian bertanya, Kalau kami dapat
menurunkan hujan. Maukah kalian membebaskan gadis itu ?”
“Mauuuuu …… !” jawab orang-orang desa dengan serentak.
“Terima
kasih,” jawab Kakek Bantal.” Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang
ditinggal mati kedua orang tuanya disebut yatim piatu. Tidak boleh
disia-siakan dan ditelantarkan, melainkan harus disantuni dan
diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa Hujan !”
Para
penduduk desa nampak tercenung mendengar ucapan Kakek Bantal. Sementara
Kakek Bantal dan kelima muridnya yang selalu berusaha dalam keadaan
suci (tak batal wudhu’nya) segera melaksanakan shalat istisqo’ dan
berdoá dengan khusyu’nya.
Tak berapa lama kemudian, langit
tiba-tiba berubah menjadi hitam oleh mendung yang berarak. Dan hujan
turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang kering kerontang. Semua orang
yang berkumpul langsung bersorak-sorai kegirangan. Hanya pendeta tua
dan keempat lelaki yang masih memegangi tangan dan kaki gadis yang
berdiam diri dalam keangkuhannya.
“Sihir ! Pasti kalian mempergunakan ilmu sihir, “teriak pendeta tua, “Hujan itu tidak nyata, hanya khayalan saja !”
Kakek
Bantal segera menghampiri pendeta tua sembari berkata, “Kisanak, sihir
itu terlarang bagi orang Islam. Kami tidak boleh mempelajarinya apalagi
mengamalkannya. Hujan ini adalah nyata rahmat dari Allah yang
menciptakan langit dan bumi !”
Agaknya pendeta tua itu tak mau
mengakui kenyataan yang ada. Dia memberi isyarat kepada keempat anak
buahnya yang memegangi si gadis cantik untuk melepaskannya dan segera
mengikuti langkahnya pergi meninggalkan desa itu.
Ketika hujan
sudah reda, orang-orang yang bersorak sorai kegirangan segera
menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kakek Bantal dan kelima muridnya.
Termasuk si gadis cantik yang hampir saja dikorbankan nyawanya oleh
pendeta tua.
“Bangunlah Kisanak semua !” kata Kakek Bantal.
“kalian tidak boleh bersujud kepada sesama manusia. Hanya Tuhan Allah
yang pantas kalian sembah dalam sujud.”
Setelah mendengar ucapan
Kakek Bantal, semua orang segera bangkit untuk bersila, salah seorang
dari mereka yang nampaknya berusia lanjut berkata, “Kami sangat
berterima kasih kepada Tuan, karena Tuan telah menolong kami menurunkan
hujan yang telah lama kami tunggu-tunggu. Bolehkah kami minta diajarkan
tata cara meminta hujan seperti tadi ?”
Ya !” sahut penduduk lainnya. “Ajarkan kepada kami cara menurunkan hujan tanpa mengorbankan manusia !”
Kakek
Bantal tersenyum arif. Orang-orang desa itu telah manaruh simpati
kepadanya. Rasa simpati itulah modal utama untuk memperkenalkan ajaran
Islam kepada mereka.
“Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan
seperti tadi,” kata Kakek Bantal. “Maka kalian harus mengenal dan
mempelajari dulu agama Islam. Maukah kalian ?” “Mauuuuuu ...... ! jawab
para penduduk dengan serentak.
Demikianlah, selama beberapa hari
Kakek Bantal tinggal di desa itu. Membimbing para penduduk desa untuk
mempelajari agama Islam sesuai dengan tingkat pemahaman mereka selaku
orang awam.
Selanjutnya Kakek Bantal meneruskan perjalanan pulang
ke Gresik. Ia telah menugaskan dua orang muridnya yang ahli dalam
mengolah lahan pertanian dan bangunan untuk membimbing penduduk desa
itu. Sehingga terbinalah imam dan taraf hidup penduduk desa itu.
Pada
setiap desa yang dilaluinya Kakek Bantal selalu berbuat kebajikan. Jika
dipandang perlu untuk menempatkan muridnya di desa yang disinggahi maka
murid itupun ditugaskan untuk membimbing penduduk desa yang dilaluinya.
3. Siapa Kakek Bantal?
Jauh
sebelum Kakek Bantal datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada
masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran.
Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama
Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyyah atau pada
tahun 1082 M.
Bahkan pada tahun 99 H, Sri Maharaja Serindrawarman
dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra telah masuk Islam. Kemudian pada
abad pertama Hijriyyah, menurut K.H. Sirajuddin Abbas, di Pulau Jawa
sudah ada seorang raja yang masuk agama Islam yaitu Ratu Sima. Menurut
dokumen disebut Ratu Simon. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa Rati Sima
adalah penguasa kerajaan Kalingga di Jepara Jawa Timur (mungkin dahulu
wilayah Jawa Timur, tetapi sekarang kota Jepara adalah daerah Jawa
Tengah).
Seorang Khalifah Bani Umaiyah, pengganti Khalifah
Sulaiman Bin Abdul Malik, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
berkuasa dari tahun 99 – 101 H, pernah berkorespondensi dengan Maharaja
Jambi (Sriwijaya) dan Ratu Sima tersebut. Kumpulan dari surat-surat itu
masih tersimpan baik di Musium Granada Spanyol sampai sekarang.
Jadi,
sebelum jaman Wali Songo, Islam sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah
Jepara dan Leran. Tetapi Islam pada masa itu belum berkembang secara
besar-besaran. Kakek Bantal diperkirakan datang ke Gresik tahun 1404 M.
Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419.
Pada
masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja
dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagaian
rakyat Gresik sudah ada yang beragama Islam tetapi masih banyak yang
beragama Hindu. Atau bahkan tidak beragama sama sekali.
Dalam berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al-Qurán yaitu :
“Hendaknya
engkau ajak kejalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan
petunjuk-petuhjuk yang baik serta ajakan mereka berdialoq (bertukar
pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS An Nahl 125).
Ada
yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki. Dan pernah mengembara
di Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang
Hindu di Pulau Jawa.
Gujarat adalah wilayah negeri Hindia yang
kebanyakan penduduknya beragama Hindu. Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya
berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar
terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti
aliran sesat, juga meluruskan imam dari orang-orang Islam yang
bercampur dengan kegiatan Musyrik. Caranya : Beliau tidak langsung
menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka
dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak
Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW.
Dari huruf-huruf
Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana
Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang
dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara yang ulung, hal
itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat,
bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah
yaitu kaum fakir miskin.
Ayat-ayat Al-Qurán yang tertulis di batu nisannya terdiri dari :
Surat Al-Baqarah ayat 255, terjemahannya :
“Allah,
tidak ada Tuhan malainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus
mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya
apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi
Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang ada di hadapan
mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari
ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (ilmu dan
kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat
memelihara keduanya. Dan Allah Mahatinggi dan Mahabesar.”
Surat Ali Imran ayat 185, terjemahannya :
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu, barang siapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga maka sesungguhnya ia beruntung. Kehidupan di
dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Surat Ar-Rahman ayat 25, 27, terjemahannya :
“Semua yang di bumi akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
Surat At-Taubah ayat 21, 22, terjemahannya :
“Tuhan
mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari pada-Nya,
keridhaan dan surga. Mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang
kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi
Allah pahala yang besar.”
Selanjutnya tertulis data siapa yang
dimakamkan di kuburan itu. “Inilah makam Almarhum Almaghfur, yang
berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para Pangeran, sendiri Sultan dan para
Menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid,
cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan
Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan Rahmat-Nya dan keridhaan-Nya,
dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari senin 12 Rabiul
Awwal tahun 822 H.”
Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli
pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik hasil
pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak
yang di sembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah
lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama
muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh
masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah
yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong
masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang
setia.
Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang
pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak menerangkan Islam secara
njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar
sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi, sesudah itu
mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu Allah
SWT.
Dikalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat
terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui
agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat kasta; kasta Brahmana,
Ksatria, Waisya dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra
adalah yang paling rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh
lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan
kedudukan seorang di dalam Islam, orang-orang Sudra dan Waisya banyak
yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama
Islam semua manusia sama sederajat. Orang sudra boleh saja bergaul
dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah
semua manusia adalah sama, yang paling mulia di antara mereka hanyalah
yang paling taqwa kepadaNya.
Taqwa itu letaknya di hati, hati
yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk berusaha
sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangannya. Dengan taqwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia
hingga di akhirat kelak, orang yang bertaqwa, sekalipun dia dari kasta
Sudra bisa jadi lebih mulia dari pada mereka yang berkasta Ksatria dan
Brahmana.
Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari
kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka merasa dibela dan
dikembalikan haknya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila mereka
berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita. Setelah
pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk
beribadah bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau
mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja
Carmain.
Dan
untuk mempersiapkan kader ummat yang nantinya dapat meneruskan
perjuangan menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa yang seluruh
Nusantara maka beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan
perguruan Islam. Tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai
calon mubaligh. Pendirian Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu
diilhami oleh kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Biksu dan pendeta
Brahmana yang mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di
mandala-mandala mereka.
Inilah salah satu strategi para wali yang
cukup jitu; orang Budha dan Hindu yang mendirikan mandala-mandala untuk
mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau
itu mendirikan bentuk Pesantren yang mirip mandala-mandala milik
kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring ummat. Dan ternyata
hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren Gresik kemudian muncul para
mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.
Tradisi Pesantren
tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang. Dimana para ulama
menggodok calon Mubaligh di pesantren yang diasuhnya.
Bila orang
bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab
dengan berbelit-belit melainkan di jawabnya dengan mudah dan gamblang
sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah,
tidak dipersulit, ummat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.
Seperti
tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles; pada
suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya : “Apakah yang dinamakan
Allah itu ?” Beliau tidak menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang
memberi pahala sorga hambaNya yang berbakti dan menyiksa
sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepadaNya.”
Jawabnya
cukup singkat dan jelas yaitu, “Allah adalah Zat yang diperlukan
adaNya.” Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di
Gresik, beliau tidak hanya membimbing ummat untuk mengenal dan mendalami
agama Islam, melainkan juga memberikan pengarahan agar tingkat
kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai
gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian
penduduk. Dengan adanya sistim pengairan yang baik ini lahan pertanian
menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi
makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andai
kata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan
taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan
baik dan tenang.
Sebagaimana sabda nabi bahwa kafakiran menjurus
pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika
sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang
harus ditiru.
Seorang imam surau, musholla atau masjid adalah
pemimpin jamaahnya. Pada saat imam mengucapkan, “Iya kana’budu waiyya
kanasta’in, “KepadaMu kami menyembah dan kepadaMu kami mohon
pertolongan. Kemudian makmumnya mengaminkanya. Bisakah sang imam atau
pemimpin tadi menjamin bahwa makmumnya benar-benar hanya mengabdi,
menyembah dan mohon pertolongan hanya kepada Allah ?
Bagaimana
jika shalat makmumnya tidak khusyu’? sebabnya tidak khusyu’ karena
masalah ekonomi. Apakah imam yang menjadi wakil makmum menghadapkan diri
kepada Tuhan itu bersiap masa bodoh dan tidak menghiraukan masalah
ekonomi makmumnya. Sehingga setiap kali memimpin shalat sang imam terus
saja berbohong kepada Tuhannya bahwa dia menyatakan siap mengabdi,
menyembah hanya kepada Allah saja, tetapi makmum atau orang yang
dipimpinnya ternyata belum siap dikarenakan masalah duniawi. Itulah
sebabnya para Wali tidak hanya membimbing agama kepada ummatnya
melainkan juga berusaha meningkatkan taraf kehidupan ummatnya.
4. Tamu dari Negeri Cermain
Ada
ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim, dia telah berhasil
mengislamkan sebagaian besar rakyat Gresik adalah bagian dari wilayah
Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja
Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang
hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya. Untuk
menghindari hal itu maka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana
mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam.
Hal itu
diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain
juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak
Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321 M. Raja Cermain
datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri Raja
Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah
untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal
agama Islam.
Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari
negeri Cermain itu menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata
gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama dengan
ucapan yang diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk Islam bila Dewi Sari
bersedia dipersuntingnya sebagai istri. Dewi Sari menolak. Tidak ada
gunanya masuk Islam bila ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragam
seperti itu hanya hanya akan merusak keagungan agama Islam.
Rombongan
dari negeri Cermain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di
Leran sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang.
Sungguh sayang sekali, selama beristirahat di Leran itu banyak anggota
rombongan dari negeri Cermain yang diserang wabah penyakit. Banyak
diantara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.
Kabar kematiannya
Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang memang
tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian
menyempatkan diri beserta ponggawa kerajaan ke desa Leran. Brawijaya
sang raja Majapahit itu memerintahkan kepada para ponggawa kerajaan
untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran.
Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan.
Setelah rombongan dari
negeri Cermain meninggalkan pantai Leran maka Prabu Brawijaya
menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim
untuk diperintah sendiri dibawah kedaulatan Majapahit. Penyerahan daerah
itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama Islam
itu tidak memberontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu.
Amanat
raja Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim denga suka
rela. Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun
dengan kafir zimmi yaitu orang-orang bukan muslim yang mau hidup
bersampingan dengan aman dalam satu negara.
Demikianlah sekilas
tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang dianggap sebagai
ayah dari Wali Sanga. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau
1419M.
Wednesday 27 February 2013
Kisah Sunan Gresik / Maulana Malik Ibrahim
Share this
Related Articles :
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments
Post a Comment
- Dilarang Berbicara Kotor, Kasar dan Berbau SARA
- Komentarlah Dengan Baik Dan Sopan