1. Asal usul SUNAN AMPEL
Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Sunan Ampel adalah Makhdum Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati). Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Cina di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu
- menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di
pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah
ditugaskan sebagai kapten Cina di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian
menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Cina di Jiaotung (Bangil).
Sementara itu seorang putri dari Kyai Bantong (versi Babad Tanah Jawi) alias Syaikh Bantong (alias Tan Go Hwat menurut Purwaka Caruban Nagari) menikah dengan Prabu Brawijaya V (alias Bhre Kertabhumi) kemudian melahirkan Raden Fatah. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan antara Ma Hong Fu dengan Kyai Bantong.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri Prabu Brawijaya yang merupakan seorang muslimah.
Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra Haji Bong Tak Keng), keturunan suku Hui dari Yunnan
yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa dengan bangsa Asia
Tengah (Samarkand). Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh/Abu
Hurairah (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi mereka
bernama Dwarawati puteri raja Champa yang menjadi permaisuri raja
Brawijaya. Raja Champa saat itu merupakan seorang muallaf. Raden Rahmat,
Raden Santri dan Raden Burereh akhirnya tidak kembali ke negerinya
karena Kerajaan Champa dihancurkan oleh Kerajaan Veit Nam.
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai.
Beliau datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya yang diambil
istri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati
Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara (kelak Brawijaya VII) . Dipati Hangrok (alias Girindrawardhana alias Brawijaya VI)
telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan
membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya
Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan istri Raja Majapahit,
tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan
juga. Putri Pasai dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki.
Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai.
Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk
menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki
dari Putri Pasai dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan
dengan puteri raja Bali. Putra dari Putri Pasai tersebut wafat ketika
istrinya Putri dari raja Bali mengandung tiga bulan. Karena dianggap
akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini
(cucu Putri Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian
dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri.
Kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi
ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar
memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu
sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit
tentang proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan
memperbolehkan penduduk untuk beralih kepada agama Islam. Petinggi
daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin
menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga
masuk Islam. Raja Bungsu beristrikan puteri dari petinggi daerah Jipang
tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang
perempuan diambil sebagai istri oleh Sunan Kudus (tepatnya Sunan Kudus senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.
Silsilah
- Sunan Ampel @ Raden Rahmat @ Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
- Maulana Malik Ibrahim @ Ibrahim Asmoro bin
- Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar al-Husaini bin
- Ahmad Jalaludin Khan bin
- Abdullah Khan bin
- Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
- Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
- Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
- Ali Kholi' Qosam bin
- Alawi Ats-Tsani bin
- Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
- Alawi Awwal bin
- Ubaidullah bin
- Ahmad al-Muhajir bin
- Isa Ar-Rumi bin
- Muhammad An-Naqib bin
- Ali Uraidhi bin
- Ja'far ash-Shadiq bin
- Muhammad al-Baqir bin
- Ali Zainal Abidin bin
- Imam Husain bin
- Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra bin Muhammad
Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari sebelah
ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi.
Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan
lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi
Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa
adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain,
Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama
Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Sunan Ampel adalah Makhdum
Ibrahim (menantu raja Champa, ipar Dwarawati) alias Haji Bong Tak Keng
(anak buah Sam Po Bo) yang menjadi Kapten Tionghoa (suku Hui beragama
Islam mazhab Hanafi) di Champa. Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng
Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo. Sedangkan Yang
Mulia Ma Hong Fu (Kyai Bantong) menantu Bong Tak Keng ditempatkan
sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit.[1][2] Puteri
dari Kyai Bantong menikah dengan Prabu Brawijaya kemudian melahirkan
Raden Fatah. Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid
Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri Prabu Brawijaya.
Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim alias Haji
Bong Tak Keng keturunan suku Hui dari Yunnan yang merupakan percampuran
bangsa Han/Tionghoa dengan bangsa Asia Tengah (Samarkand). Raden Rahmat,
Raden Santri dan Raden Burereh (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit
mengunjungi bibi mereka bernama Dwarawati (anak raja Champa) yang
menjadi permaisuri raja Brawijaya.
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I),
nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Beliau
datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya yang diambil istri oleh
Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati Hangrok dengan
mangkubuminya Patih Maudara. Dipati Hangrok telah memerintahkan
menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah
perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan
jika Putrinya dijadikan istri Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa
kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan
Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri
Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit,
Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk menetap di wilayah pesisir
yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja
Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Anak
dari Putri Pasai tersebut wafat ketika istrinya Putri dari raja Bali
mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri
tersebut, maka ketika lahir bayi ini dihanyutkan ke laut, tetapi
kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak
disebut Pangeran Giri. Kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota
Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di
Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam
kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta izin
terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses islamisasi
tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk
beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari
Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu.
Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristrikan puteri
dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang
anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai istri oleh Sunan
Kudus, sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja
Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.
Isteri dan Anak
Isteri Pertama, yaitu: Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo Al-Abbasyi, berputera:
- Maulana Mahdum Ibrahim/Raden Mahdum Ibrahim/ Sunan Bonang
- Syarifuddin/Raden Qasim/ Sunan Drajat
- Siti Syari’ah/ Nyai Ageng Maloka/ Nyai Ageng Manyuran
- Siti Muthmainnah
- Siti Hafsah
Isteri Kedua adalah Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera:
- Dewi Murtasiyah/ Istri Sunan Giri
- Dewi Murtasimah/ Asyiqah/ Istri Raden Fatah
- Raden Husamuddin (Sunan Lamongan)
- Raden Zainal Abidin (Sunan Demak)
- Pangeran Tumapel
- Raden Faqih (Sunan Ampel 2)
Sejarah dakwah
Syekh Jumadil Qubro, dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim (Makdum
Ibrahim/Haji Bong Tak Keng) dan Maulana Ishak bersama sama datang ke
pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di
pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.
Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja
Champa, yang akhirnya mengubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam.
Akhirnya dia dijodohkan dengan putri raja Champa (adik Dwarawati), dan
lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke
Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya.
Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan
Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama
Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu:
Putri Nyai Ageng Maloka,
Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang),
Syarifuddin (Sunan Drajat) dan
Syarifah, yang merupakan istri dari Sunan Kudus.
Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak.
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
2. Ketanah Jawa
Maka
pada suatu ketika diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri
Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit.
Kedatangan utusan tersebut disambut gembira oleh Raja Cempa, dan Raja
Cempa bersedia mengirim cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Keberangkatan
Sayyid Ali Rahmatullah ke tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh
ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan diatas, ayah Sayyid Ali
Rahmatullah adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya
bernama Sayyid Ali Murtadho. Diduga tidak langsung ke Majapahit,
melainkan terlebih dahulu ke Tuban. Di Tuban tepatnya di desa
Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggak
dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan
Palang Kabupaten Tuban.
Sayyid
Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling
daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat
sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat
sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik, Sayyid Ali
Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya
sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Kapal
layar yang ditumpanginya mendarat dipelabuhan Canggu. Kedatangannya
disambut dengan suka cita oleh Prabu Brawijaya. Ratu Dwarawati bibinya
sendiri memeluknya erat-erat seolah-olah sedang memeluk kakak
perempuannya yang di negeri Cempa. Karena wajah Sayyid Ali Rahmatullah
memang sangat mirip dengan kakak perempuannya.
Nanda
Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum
bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia!!
Tanya sang Prabu kepada Sayyid Ali Rahmatullah setelah beristirahat
melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan santun tutur kata yang halus
Sayyid Ali Rahmatullah menjawab. Dengan senang hati Gusti Prabu, saya
akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik
mereka.
Bagus!
Sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah
berikut bangunannya di Surabaya. Disanalah kau akan mendidik para
bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.”
“Terima
kasih saya haturkan Gusti Prabu”, Jawab Sayyid Ali Rahmatullah.
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah
menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah
satu puteri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng
Manila. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmtullah adalah salah seorang
Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu Raja Majapahit.
Semenjak
Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau
adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran,
para pangeran pada jaman dahulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau
Raden yang berati Tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan
sebutan Raden Rahmat.
3. Ampeldenta
Selanjutnya,
pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke
sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.
Rombongan
itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama
dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang
dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik. Beliau
membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan
tertentu dan anyaman rotan. Kipas-kipas ini dibagikan kepada penduduk
setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya dengan
kalimah syahadat.
Penduduk
yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka
mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama
rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit
batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan
kepada Raden Rahmat. Pada saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan
agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
Cara
itu terus dilakukan sehingga rombongan memasuki desa kembang kuning.
Pada saat itu kawasan desa kembang kuning belum seluas sekarang ini.
Disana sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan
karomahnya Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan
tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang itu sekarang
dirubah menjadi mesjid yang cukup besar dan bagus dinamakan sesuai
dengan nama Raden Rahmat yaitu Mesjid Rahmat Kembang Kuning.
Ditempat
itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh
masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh
masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut
Raden Rahmat.
Dengan
adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat
untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama
kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama.
Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberikan pengertian
sedikit demi sedikit tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika mereka
sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka
secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepecayaan lama yang
bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah
sampai ditempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun
mesjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang dilakukan
Nabi Muhammad SAW saat pertama kali sampai di Madinah.
Dan
karena menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut
maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari
kata Susuhunan yang artinya yang dijunjung tinggi atau panutan
masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata
Suhu Nan artinya Guru Besar atau orang yang berilmu tinggi.
Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik
putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau.
4. Ajarannya yang terkenal
Hasil didikan mereka yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu :
1. Moh Main atau tidak mau berjudi
2. Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau tidak mau mencuri
4. Moh Madat atau tidak mau mengisap candu, ganja dan lain-lain.
5. Moh Madon atau tidak mau berzinah/main perempuan yang bukan isterinya.
Prabu
Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja
menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka
ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam
maka Prabu Brawijaya tidak marah, hanya saja ketika dia diajak untuk
memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi raja Budha yang
terakhir di Majapahit.
Raden
Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan
diseluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh
dipaksa, Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan
dalam beragama.
5. Sesepuh Wali Songo
Setelah
Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai
sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah
Jawa. Beberapa murid dan putera Sunan Ampel sendiri menjadi anggota Wali
Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan
Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus dan
Sunan Gunung Jati.
Raden
Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Wali Songo
menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan
diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh
kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan
dengan pihak Majapahit.
Para
wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam
tempo secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah
tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan
besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam, tak usah diserang oleh
Demak Bintoro sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang
lebih muda menganggap Sunan Ampel terlalu lamban dalam memberikan
nasehat kepada Raden Patah.
“Mengapa
Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah yang juga adalah
menantunya sendiri. “Krena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang
menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putera Raja Majapahit Prabu
Kertabumi telah berlaku durhaka, yaitu berani menyerang ayahandanya
sendiri”. Jawab Sunan Ampel dengan tenang.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?”
“Kau
harus sabar menunggu sembari menyusun kekuatan”, ujar Sunan Ampel. “Tak
lama lagi Majapahit akan runtuh dari dalam, diserang Adipati lain. Pada
saat itulah kau berhak merebut hak warismu selaku putera Prabu
Kertabumi”.
“Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkwajiban membelanya?”
“Inilah
ketentuan Tuhan”,sahut Sunan Ampel. Waktu kejadiannya masih
dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah persitiwa itu akan
berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu.
Sunan Ampel adalah penasehat Politik Demak Bintoro sekaligus merangkap
Pemimpin Wali Songo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwa nya
dipatuhi semua orang.
Kekhawatiran
Sunan Ampel pun terbukti. Dikemudian hari ternyata orang-orang pembenci
Islam memutar balikkan fakta sejarah, mereka menuliskan bahwa Majapahit
jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang rajanya adalah putera
raja Majaphit sendiri. Dengan demikian Raden Patah dianggap sebagai anak
durhaka. Ini dapat anda lihat didalam serat darmo gandul maupun sejarah
yang ditulis sarjana kristen pembenci Islam.
Raden
Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan
Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel Wafat pada tahun 1478 M. Sunan
Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak, Sunan Giri
diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para wali
dan pemimpn agama se-Tanah Jawa.setelah Sunan Giri diangkat sebagai
Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia mneyetujui aliran
tuban untuk memberi fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.
Mengapa Sunan Giri bersikap demikian?
Karena
pada tahun 1478 kerjaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau
Girindrawardhana dari kadipaten kediri atau keling. Dengan demikian
sudah tepatlah jika Sunan Giri meneyetujui penyerangan Demak atas
Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah
selaku putera Raja Majapahit yang terakhir.
Demak
kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan
dilancarkan. Prabu Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara pada
tahun 1498.
Pada
tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam
kedudukannya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Giri Kedaton
semakin kuat dan mapan. Prabu udara kuatir jika terjadi peperangan akan
menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan
Portugis di Malaka. Padahal putera mahkota Demak yaitu Pati Unus pada
tahun1511 telah menyerang Protugis.
Sejarah
telah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untu
menemui Alfinso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta
(ggamelan), sepotong kain panjang bernama “Beirami” tenunan kambayat, 13
batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah
jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta
majapahit secara sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan
Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentunya bangsa
Portugis akan menjajah Tanah Jawa jauh lebih cepat daripada Bangsa
Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak
Bintoro. Termasuk mahkota rajanya. Raden Patah diangkat sebagai raja
Demak yang pertama.
Sunan
Ampel juga turut membantu mendirikan Mesjid Agung Demak yang didirikan
pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama mesjid Demak
hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu
Sunan Ampel.
Beliau
pula yang pertama kali menciptakan huruf pegon atau tulisan arab
berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf pegin ini beliau dapat menyampaikan
ajaran-ajaran Islam kepada para muridnya. Hingga sekarang huruf pegon
tetap diapaki sebagai bahan pelajaran agama Islam dikalangan pesantren.
Rujukan
Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan dalam
Bahasa Malaysia oleh
Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS -
Ampang/
Hulu Kelang -
Selangor Darul Ehsan,
Malaysia 1990.
(Sumber - Sumber)
0 comments
Post a Comment
- Dilarang Berbicara Kotor, Kasar dan Berbau SARA
- Komentarlah Dengan Baik Dan Sopan